Pagi ini langit begitu cerah. Udara masih dingin tapi terasa menyejukkan. Kicauaan burung dan gemuruhnya suara ayam menandakan fajar
sesaat lagi akan datang. Kemilau sinar matahari menambah
kekagumanku pada hari yang indah ini. Jarum jam mununjukkan tepat pukul enam pagi. Aku bergegas mandi, menyiapkan segala keperluan
untuk bekerja. Aku bersyukur, Tuhan memberiku waktu untuk hari yang indah ini. Memberiku hari yang cerah, memberikan
kehidupan yang selamanya ingin aku jalani tanpa harus
takut untuk mati.
“Piaaaa… lama amat sih lo, keburu siang nih!” teriak seorang
laki-laki di depan rumah, suaranya besar dan tegas.
Lima menit kemudian, aku keluar dari
persembunyian kamarku. Aku mencoba berlari kecil. Turun tangga sambil menenteng
drum di tangan kanan. Kemudian memasang sepatu
dengan cepat.
Terlihat seorang pria berdiri di depan pagar, sedang
cemberut. Pria itu berpakaiaan rapi, rambutnya gondrong dan diikat ke belakang. Ia sedang terduduk bersandar di pagar besi. Jika
diraba umurnya sekitar dua
pulah lima
tahun. Aku bisa menyimpulkan itu pasti Mas Riki. Selang beberapa menit,
aku langsung menghampirinya.
“Sori, tadi malem tidur kemaleman jadi kesiangan,” sambil nyengir aku minta maaf.
“Huff… alasannya itu-itu aja!” sambil menoel kepalaku. “Hari ini
ngamen di kereta ya. Gua denger-denger hasilnya lumayan, dibanding di bus,” tukas pria berambut ikal itu.
Kami berjalan menuju stasiun kota, atau lebih dikenal Beos.
Kami berencana akan mengamen hingga larut malam. Di panti, Mas Riki adalah
kakak tertua dari kami semuanya. Aku sudah menganggap ia sebagai kakak
kandungku sendiri. Umurnya memang tidak terlampau jauh dariku. Namun
pemikirannya begitu dewasa dan bijaksana.
Rutinitasku setiap pagi adalah menabuh drum. Sedangkan Mas
Riki yang menyanyi sekaligus bermain gitar. Sepanjang hari, kami mengamen di
kereta dengan jurusan Beos-Tangerang, kemudian balik lagi. Kereta begitu ramai,
hingga aku harus bedesakan dengan para penumpang. Banyak yang berdiri karena
kursinya tidak cukup untuk menampung semua jasa penganggkut kereta ekonomi ini.
Tak kalah, para Penjual ikut memadati kereta ekonomi jurusan Beos-Tangerang ini.
Setelah kepadatan mulai merenggang kami pun mengamen.
* * *
Aku, Viana biasa dipanggil Pia. Beberapa orang memanggilku
Via. Namun keluarga panti asuhan dan orang terdekat, biasa memanggilku Pia.
Agak aneh sih. Tapi kata mereka ribet kalau memanggilku harus memakai huruf
‘V’. Hehe… yah biasa asli betawi, yang suka terbalik antara huruf V dan P. Aku
adalah Pia, anak perempuan sebatang kara. Genap 19 tahun umurku sekarang. Sembilan
tahun yang lalu, ayah menitipkanku pada Bu Dewi.
Seribu cinta dan kangen kurasa saat teringat ayah. Ayahku
orang paling baik dan bijaksana yang pernah ku kenal. Sedangkan ibuku? Aku tak
tahu banyak tentangnya, yang aku tahu ia meninggal saat melahirkanku. Aku hanya
mengenal ibuku adalah Bu Dewi. Bu Dewi? Yah.. dialah ibuku. Wanita berumur sekitar
setengah abad itu adalah pengurus panti asuhan yang sudah bertahun-tahun
mengabdikan hidupnya untuk anak-anak
sepertiku. Anak-anak yatim piatu, terlantar dan anak berpenyakit seperti aku.
Ia bagaikan malaikat dalam kehidupan kami yang suram ini. Aku
memanggilnya Bu Dewi. Ia begitu lembut
dan sabar. Aku sudah menganggapnya sebagai orangtuaku sendiri. Mungkin tanpanya
aku tidak bisa hidup setegar ini. Rahasia terbesar hidupku, bisa ia simpan
dengan aman. Rahasia ini adalah masalah terbesar hidupku. HIV Aids! Yah..
itulah rahasia hidupku, yang akan ku pendam selamanya. Aku lelah menjadi orang
tertindas.
Dilecehkan, dikucilkan dan tidak diterima masyarakat sudah
pernah kualami akibat rahasia hidup suramku ini. Saat aku kecil, tidak ada yang
mau berteman denganku, mereka menjauhiku dengan alasan tak mau tertular. Aku
lelah selalu dicemooh dan tidak diterima berteman dengan mereka, dengan alasan
penyakit ini. Aku tidak minta apa-apa. Aku hanya ingin hidup tenang di sisa
waktuku yang semakin menipis ini. Bisa merasaan kebahagiaan hidup, tanpa harus
dibedakan. Untuk itu, kuputuskan merahasiakannya.
* * *
Sebelum ayah dan ibuku
menikah, ibu adalah wanita malam. Lebih tepatnya seorang pelacur. Ayah tahu
kondisi ibu, namun ia tetap mencintai ibu apa adanya. Keluarga ibu miskin. Demi
meringankan beban keluarga, ibu putuskan untuk bekerja setelah tamat SMA. Mencari
pekerjaan dengan ijazah tamatan SMA sangatlah sulit. Apalagi di kota besar
seperti Jakarta ini. bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Amatlah sulit!
Dikarenakan wajah ibu cantik, ia ditawarkan menjadi pelacur
dengan gaji satu juta per hari. Ibu pun tergiur dengan tawaran itu. Selang
beberapa bulan, ia sudah menjadi pelacur eksklusif
yang hanya di booking oleh om-om
berduit. Namanya semakin terkenal di kalangan laki-laki hidung belang, yang
hanya menginginkan tubuh ibu sesaat. Setiap hari tubuhnya menjadi santapan
lezat para lelaki kesepian.
Tarif pun semakin mahal lima kali lipat. Rumah pelacur itu
menjadi terkenal akibat keberadaan ibu. Tubuhnya yang molek menjadi daya tarik
tersendiri. Banyak pejabat yang membookingnya hingga berhari-hari. Sehari ia
bisa mendapatkan dua atau tiga pelanggan. Ia terus melancarkan pesona. Tak
menyadari ada sarang penyakit di dalam dirinya.
Pekerjaan haram itu membuatnya kehilangan semua. Hidupnya,
kehormatan dan segalanya. Tak lama berselang muncul masalah baru. Ibu
muntah-muntah. Ia pikir hanya masuk angin biasa karena beratnya pikiran. Namun, semakin lama semakin janggal. Lalu ia
putuskan untuk cek kedokter, dan ternyata ibu mengandung aku yang entah
berantah benih dari pria mana. Ibu terkejut bukan kepayang dan yang membuat ibu
hampir pingsan, ternyata aku terinfeksi Virus haram itu pula. Rasanya, langit
runtuh tepat diatas dikepalanya.
Semakin lama kesinisan warga semakin menjadi-jadi. Banyak
kata-kata makian yang dimuntahkan dari mulut mereka. Ia mencoba tegar, namun
setegar-tegarnya menahan semua pilu ia akan rapuh juga. Ibu hampir gila
dibuatnya. Kemudian ayah datang bagaikan malaikat untuk menolong ibu. Ia
bersedia menikahi ibu, agar aku punya ayah.
Dengan tebal telinga dan kesabaran yang luar biasa, mereka
lalui bersama. Semakin hari jiwa dan tubuh ibu semakin rapuh. Badannya kurus
terlihat tidak berdaging lagi. Padahal ia sedang mengandung aku. Ayah prihatin melihat
kondisinya. Ibu seperti orang yang tidak mempunyai gairah hidup lagi. Perutnya
semakin membesar namun badannya semakin kurus.
Sembilan bulan kemudian, aku terlahir dengan normal namun
ibuku tidak tertolong. Pendarahan cukup hebat saat melahirkan membuatnya
kehilangan banyak darah. Kehilangan orang yang amat dicintai memang begitu
berat. Ayah sempat depresi akibat kepergian ibu. Namun ia berusaha tegar,
karena aku harus ia rawat. Tak ada ibu, ayah tetap bertanggung jawab merawatku.
Padahal ia tahu persis, aku bukan darah dagingnya. Tetapi ia mengasihiku
layaknya seorang ayah mengasihi anak kandungnya sendiri.
Sekitar sembilan tahun umurku. Aku tumbuh menjadi anak
perempuan yang tertutup. Aku selalu sendiri. Mereka.. khususnya orangtua mereka
tidak memperbolehkan anaknya bermain denganku. Alasannya klasik, mereka tidak
mau anaknya tertular! Ayah prihatin dengan keadaanku. Ia putuskan untuk membawaku
pergi dari lingkungan yang tidak berprikemanusiaan itu. Teman ayah mengusulkan
agar ia ikut bekerja sebagai buruh di Medan, gajinya lumayan. Tak ada cara
lain, ayah harus menitipkan aku pada seseorang.
Ayah teringat Bu Dewi, karena ia tahu Bu Dewi adalah wanita
berhati mulia. Segenap hidupnya ia curahkan untuk anak-anak kurang beruntung di
panti asuhan ini. Dengan tangan terbuka, Bu Dewi mau menerimaku untuk ia
dirawat. Sebelum ayah pergi, ia berpesan padaku agar aku menjadi anak baik. Ia
menyuruhku untuk menunggunya pulang. Setelah punya uang dan pulang. Ia akan
mengambilku kembali dan kami akan hidup bahagia. Setiap hari aku menunggunya. Berharap
ia akan pulang dan aku bisa bertemunya lagi.
* * *
Tak terasa, hari berganti begitu cepat dan malampun tiba.
Ternyata mengamen di kereta memang lebih banyak pendapatannya dibanding bus.
Hampir seratus ribu kami dapat hari ini. Jika dibanding di bus, kami hanya
mendapat tujuh puluh ribu. Itu pun kalau lagi untung. Setelah itu kami bergegas
pulang. Bu Dewi pasti mengkhawatirkan kami jika pulang larut malam. Terik
matahari dan debu jalanan membuat tubuhku bau dan lengket.
Sesampai di panti, aku langsung mandi dan membersihkan badan
karena sudah seharian berada di luar. Setelah semua bersih, aku bergegas menuju
kamar. Kamarku berada dipojok dan aku tidur sendirian. Sedangkan yang lain
tidur tiga hingga empat orang sekamar. Aku mengerti Bu Dewi memberi formasi
seperti ini. Ia hanya takut yang lain tertular virus ini. Semua bisa aku
mengerti, dengan sopan ia bisa membatasiku agar anak-anak di panti bisa aman
dan aku pun juga aman.
Aku bergegas menuju kasur tercinta. Rasanya kelelahan ini
membuat kasur itu seperti permadani yang indah dan empuk. Sempat ku berpikir,
empuk dan nyamannya kasur kerajaan pasti kalah dengan kasur di kamarku. Aku
begitu lelah, terasa semua tulang ingin rontok. Ku rebahkan badanku diatas
kasur.Aku mencoba memejamkan mata. Tak kuasa menahan kantuk yang mendera.
Selang beberapa menit, aku mulai tertidur pulas. Perih… muncul rasa sakit yang
luar biasa di tubuhku. Aku pun terbangun dan meringkuk kesakitan di atas kasur.
Aku mencoba
merogoh-rogoh lemari kecil yang berada di bawah kasurku. Ku ambil sebotol pil. Lalu
kutumpahkan dua pil ketangan dan kuminum. Beberapa menit kemudian rasa sakit
itu pun mulai hilang dan aku terkujur lemas diatas kasur. Sisa-sisa rasa sakit
itu membuat badanku lemas tak bertenaga. Lalu ku putus untuk memejamkan mata
agar rasa sakit itu hilang dan tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya.
Fajar pagi mulai
menyapa. Aku membuka jendela dan teriknya sinar matahari menerpa wajahku.
Sesekali ku menghirup udaranya yang segar. Harumnya begitu lembut dan nyaman. Setelah
itu aku bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap pergi mengamen. Aku
bergegas mandi dengan cepat, karena aku tak mau Mas Riki menunggu lama lagi.
Seusai mandi, aku langsung memakai baju dengan gaya super kilat.
Setelah semua selesai, aku berjalan menerobos lorong menuju
pintu depan. Tak lupa aku membawa drum kesayanganku. Belum sampai pintu depan,
tubuhku langsung mematung. Tak bisa bergerak. Ku coba berjalan namun tubuhku
malah ambruk. Aku berteriahk kesakitan, tubuhku seperti dibakar. Perih luar
biasa di sekujur tubuh. Badanku kejang-kejang kesakitan. Dari ujung kaki hingga
ujung kepala semua beradu. Pikiranku melayang, kemudian aku tertidur dan tidak
sadar diri.
* *
*
Aku bermimpi berada di padang gurun yang luas. Luas sekali
hingga mata ini tak mampu menyapu semua bagian di padang gurun itu. Aku hanya
sendirian. Terlihat tak ada satupun manusia yang hidup disana, kecuali aku. Aku
mencoba berjalan. Aku ingin pulang ke panti. Namun aku tak tahu jalan keluar
dari gurun ini. Aku seperti orang tersesat. Sejam, dua jam, tiga jam berlalu. Terus
berjalan tanpa henti. Terus dan terus!
Aku merasa haus namun
tidak kutemukan mata air disana, yang terlihat hanya padang pasir yang sangat
luas. Kaki ini sudah tak sanggup lagi berjalan, badanku mulai terasa lemah dan
berat. Lalu aku terduduk di tengah padang gurun. Terlihat hanyalah hamparan
pasir yang sangat luas. Beberapa menit kemudian, aku melihat seseorang berpakaian
hitam dari kejauhan. Mereka bergerombol. Jika dihitung, sekitar sepuluh orang.
Mereka berjalan cepat dan mengarah ketempatku beristirahat.
Aku bingung, lalu mereka semakin dekat dan aku merasa takut. Namun tubuh ini
tidak bisa bergerak. Mereka memakai jubah hitam, seperti malaikat pencabut
nyawa. Mereka berjalan semakin dan semakin dekat, darahku terasa berhenti. Aku
berteriak…
“Tenang… ada apa?” suara itu terdengar lembut dan berusaha
menenangkanku.
“Ini dimana, aku
kenapa?” suaraku terdengar lemah dan serak. Aku merasa ketakutan yang luar
biasa. Tubuhku gemetaran dan keringatku mengucur tanpa henti.
“Tenang Pia… kamu di Rumah Sakit. Tadi pagi kamu pingsan,” Bu
Dewi berusaha menenangkanku. Tubuhku benar-benar gemetaran tanpa henti.
“Pia ingin pulang! bu… tolong bawa Pia pulang. Pia gak mau
disini. Tolong bu!” aku langsung menggenggam erat tangan Bu Dewi dan memohon.
Aku sangat benci Rumah Sakit.
Aku merasa kepalaku berat, seperti ada batu menancap di atasnya.
Terlihat Bu Dewi dan Mas Riki didepan tempat tidur. Ku lihat jam menunjukkan
pukul satu siang. Sekitar tujuh jam aku tak sadarkan diri. Sebelum pulang, dokter
datang keruang rawatku. Ia adalah dokter yang biasa mengangani penyakitku. Dari
Ibu hingga aku, ia tahu sejarahnya.
“Dok, gimana dengan
penyakit saya?”
“Penyakit kamu semakin parah dan obat yang saya kasih itu
hanya obat penahan sakit, bukan penyembuh” dengan muka serius dokter
menyampaikannya padaku.
Aku terdiam. Tubuhku gemetaran dan ketakutan. Aku benar-benar
tak mengerti tenyata nyawa hidupku ini tak bisa di tolerir lagi. Aku semakin
dan semakin takut dengan kematin. Setelah berkonsultasi dengan Dokter Handoko,
aku bergegas pulang. Tubuhku masih lemas. Mas Riki dan Bu Dewi membopongku
sampai kekamar tidurku.
Waktu berjalan begitu cepat. Pagi yang cerah tadi sudah
berganti malam yang kelabu. Mengapa malam begitu cepat? Aku benci malam hari.
Ketakutan yang luar biasa menyelimutiku malam ini. Aku takut terlelap. Aku
takut pagi yang indah itu, tak kutemukan lagi esok. Aku masih ingin hidup. Aku
masih ingin menunggu Ayah. Aku yakin suatu saat ia akan menjemputku. Malam ini
kuputuskan untuk begadang. Jam menunjukkan pukul sebelas.
Rasa sakit ini datang lagi. Tubuhku terasa ditusuk oleh
berjuta-juta jarum. Ku ambil obat untuk penenang, namun ku buang dan
kuhempaskan ke tanah. Obat ini tidak ada gunanya. Hanya bisa menenangkanku
sesaat. Hanya bisa menghilangkan rasa sakit, tetapi efek sampingnya membuatku
mengantuk. Aku tidak mau mengantuk dan tidur!! Aku hanya bisa meringuk
kesakitan. Berharap sakit ini akan mereda dan hilang dengan sendirinya.
Sakit ini semakin lama menghilang. Namun penyakit mengantuk
mulai kambuh. Dengan susah payah, aku bangkit dari tempat tidur. Tempat tidur
ini hanya membuatku mengantuk dan mengantuk. Badanku masih terasa lemas.
Kutarik kursi dan ku letakkan di depan jendela. Sehingga aku bisa duduk sambil
termenung dan sesekali melihat pemandangan diluar agar tidak mengantuk. Mataku
sudah terasa berat. Sesekali aku tertidur dan terbangun lagi. Ketakutan ini
benar-benar menggerogoti jiwaku.
Jam menunjukkan pukul tiga tengah malam.
“Pia… kamu
belum tidur? Sudah jam satu malam?” terdengar suara pelan namun lembut
memanggil namaku dibelakang. Aku langsung menoleh dan ternyata Bu Dewi.
“Ibu kenapa
belum tidur juga? Pia… pia belum bisa tidur bu. Belum ngantuk,” aku menjawab
dengan nada ragu-ragu.
“Kamu pasti
bohong! Mata kamu begitu ngantuk. Dari mana kamu bilang tidak bisa tidur?” ia
langsung duduk disebelahku dan membelai kepalaku. “Apa kamu punya masalah? Coba
ceritakan pada ibu, mungkin ibu bisa bantu.”
Aku terdiam
sejenak, kemudian berkata “Pia takut tidur! Pia takut tidak bangun lagi. Saat
pingsan tadi pagi, Pia mimpi didatangi segerombolan orang berjubah hitam.
Mereka seperti mau menerkam Pia. Pia takut! Mereka seperti mau mencabut nyawa
Pia.” aku menangis, hatiku benar-benar galau dan ketakutan ini sudah menjadi
bumerang.
Bu Dewi
memelukku erat-erat dan berkata, Pia… ajal tidak ada yang tahu. Itu juga hanya
mimpi. Tepatnya hanya bunga tidur.” dengan intonasi yang pelan Bu Dewi
menenagkanku. Aku hanya bisa menangis dipelukannya. Mencoba mengeluarkan semua
keluh kesahku. Hatiku benar-benar sedang gundah.
“Bu saat aku
berbicara dengan Dokter Handoko,” aku terdiam kemudian mencoba melanjutkannya.
“Katanya penyakitku sudah semakin kritis. Mungkin tubuh ini saja yang terlihat
sehat, namun di dalamnya sudah rusak,” aku berbicara sambil menangis
terisak-isak.
“Tuhan punya
rencana bagi setiap hambanya. Kamu tidak perlu takut dengan ajal. Jika ia mau
dia bisa memanjangkan umurmu hingga beberapa tahun lagi. Pia sebagai manusia
harus tetap Optimis agar Tuhan tidak kecewa membuat Pia bisa hidup di dunia
ini.”
Kata-kata Bu Dewi benar-benar membuat hariku sejuk. Aku
benar-benar merasa nyaman saat di dekatnya. Dia mengerti apa yang kurasakan. Ia
menyuruhku tidur, namun aku tidak mau. Ia mengatakan tidak akan tidur juga,
jika aku tetap bandel. Aku tak mau membuatnya repot, kuputuskan untuk
menurutinya.
Lalu aku berjalan ke
kasur untuk tidur. Saat aku mencoba terlelap, ia terus membelai rambutku hingga
ku tertidur. Setelah aku tidur pulas, ia pindah ke kursi tempatku termenung
tadi dan tidur dengan posisi duduk. Semalaman ia menemaniku agar aku terjaga.
Jika aku gelisah, ia terbangun dan mencoba menenagkanku.
Pagi hari
pun datang dan fajar mulai menyapa. Aku terbangun seperti biasa, sekitar jam
lima pagi. Aku sujud syukur kepada Nya, karena aku diberi kesempatan lagi untuk
hidup. Aku bisa melakukan hal-hal yang kuinginkan. Aku masih bisa berharap
untuk menunggu Ayah pulang dan membawa kabar gembira. Aku juga masih bisa
mengamen untuk meringankan kebutuhan panti, dan sedikit membalas jasa Bu Dewi.
Walau penghasilanku tidak sepadan dengan semua yang telah ia berikan,
setidaknya aku bisa meringankannya.
“Pia… kamu
mau kemana?” tanya bu Dewi yang baru terbangun dari kursi tempat ia tidur
semalam. Aku kasihan melihatnya, ia bela-belain tidur di kursi untuk
menungguiku.
“Hari ini
Pia mau mengamen lagi. Makasi ya bu sudah menunggui Pia tadi malam.”
“Kondisi
kamu belum stabil! Kamu harus ingat HIV mudah terjangkit penyakit. Mengamen dan
bertemu orang banyak akan menimbulkan penyakit baru ditubuhmu. Kamu tidak perlu
mengamen lagi. Istirahatlah!” Bu Dewi berusaha menasehatiku.
“Gak apa-apa
bu. Pia hanya ingin memanfaatkan sisa waktu Pia dengan hal yang berguna. Tidak
hanya tudur dikamar. Kan, ibu yang bilang sendiri jangan takut untuk mati
karena ajal hanya Tuhan yang tahu.” Aku berusaha meyakinkannya.
“Kalau itu
mau kamu, ibu izinkan. Tapi kamu harus menjaga kesehatanmu!”
“Beres bu!” sambil nyengir. “Pia langsung berangkat ya bu.”
Aku mencium tangannya, lalu berlalu. Aku bergegas, karena aku yakin Mas Riki
sudah menunggu lama.
Hari ini aku
bertekat untuk mendapatkan uang lebih banyak dan banyak lagi. selain memenuhi
kebutuhan panti, aku juga ingin menabung untuk hari depanku. Lebih tepatnya,
jika aku nanti meninggal, aku tidak perlu menyusahkan Bu Dewi lagi. Ironis
memang! Aku sadar, penyakit ini tidak akan menahanku untuk hidup lebih lama
lagi. Namun setidaknya hidupku ini punya arti walaupun hanya sebentar.
Aku bergegas turun tangga dan terlihat Mas Riki setia
menungguku yang selalu tidak tepat waktu. Hari ini Mas Riki mengusulkan untuk
mengamen di kereta lagi. Hari ini aku bersyukur Tuhan memberiku kesempatan
hidup lagi. Aku tak tahu Tuhan akan mengambilku kapan dan aku pun tak tahu
berapa lama lagi sisa waktuku untuk hidup. Aku juga tahu umurku tidak panjang
lagi. Tapi aku tidak mau hidupku tak berarti karena selalu ketakutan.
Sekarang aku ingin tetap ceria separti dulu. Aku ingin
sepanjang sisa hidupku ini, bisa kuberikan pada orang-orang yang kucintai.
Orang-orang yang sudah berjuang untuk aku. Jika aku boleh berharap, sebelum
meninggal aku ingin bisa bertemu Ayahku lagi. Aku ingin memeluknya dan
mengucapkan terimakasih, atas semua yang telah ia berikan kepadaku dan ibuku.
Aku selalu menunggu hari itu dan berharap kesempatan itu masih ada untukku.
-TAMAT-